Suara Wakil Rakyat – Jakarta, Ini adalah pengalaman seorang pemuda yang mempertaruhkan masa depannya. Perkenalkan namanya adalah Mr. Pantasi, ia didiagnosa mengalami penyakit Varikokel. Varikokel adalah pembengkakan Pembuluh Darah Vena di dalam Kantung Zakar (Skrotum) yang menyerupai Varises pada tungkai kaki. Terjadi karena gangguan pada Katup Vena yang menyebabkan penumpukan darah. Kondisi ini dapat menyebabkan testis menyusut, mengurangi kualitas dan kuantitas Sperma, serta mengganggu kesuburan. Pada proses identifikasi Varikokel, biasanya dokter melalui pemeriksaan fisik, yang sering kali meliputi Manuver Valsava (pasien mengejan saat berdiri) untuk mendeteksi pembesaran Vena. Jika diperlukan Dokter dapat merekomendasikan USG Skrotum untuk melihat gambaran detail pembuluh darah dan menilai kondisi Testis, serta mengetahui adanya masalah kesuburan seperti penurunan kualitas Sperma.

Pada pagi itu Mr. Pantasi bangun pagi seperti biasa, mandi, dan lalu memakai pakaian rapi untuk menuju Rumah Sakit. Ia mengenakan pakaian kemeja putih dengan celana chino coklat muda dan sepatu pantofel hitam, lalu bergegas menuju Rumah Sakit dengan keluarganya. Ia berpendapat, bahwa hari ini adalah hari penting dalam hidupnya. Ia tidak mau terlihat tidak siap untuk mempertaruhkan masa depannya.
Jadwal Operasi dilakukan pada hari Kamis, 5 Juni 2025 jam 11:00 siang. Mr. Pantasi menunggu antrian sejak jam 9:00 pagi. Administrasi dilakukan, lalu ia diberikan gelang Rumah Sakit yang khas dan dipakaikan di tangan kanan. Setelah waktunya tiba, perawat datang dan mengantarkan dia menuju ruangan operasi.
Sesampainya di ruangan, dia melepas seluruh pakaian dan diganti dengan pakaian operasi khusus. Tidak dengan pakaian dalam, hanya sehelai pakaian operasi dan sandal karet untuk masuk ruangan. Ruang Operasi di RSCM Kencana, begitu dingin, ia merasa deg-degan. Ia menunggu di kasur yang sudah disediakan. Dokter Anestesi pun tiba, berdiskusi sejenak dan mengetahui Mr. Pantasi sangat ketakutan. Sebenarnya Mr. Pantasi tidak pernah melakukan operasi seumur hidupnya. Yang dia ingat hanya operasi estetik karena kecelakaan motor dan itu pun tidak dengan bius total.
Sampailah ia di meja operasi. Suster memasangkan alat-alat dan infus pun disuntikan ke tangan. Dari pembicaraan sebelumnya, telah diputuskan Mr. Pantasi memilih bius setengah badan, yang artinya mati rasa dari pinggang ke bawah. Bius disuntikan di bagian punggung bawah, namun obat tidur telah disuntikan di infus yang telah terpasang. Seharusnya bius setengah badan harus menggunakan kateter, namun Mr. Pantasi tidak menggunakanya.

Operasi dilakukan oleh Prof. DR. Dr. Akmal Taher, Sp.U-K untuk prosedur Mikroligasi Varikokel kanan dan kiri. Biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp.48.330.000,00 belum termasuk biaya rawat inap dan konsultasi dokter pasca operasi. Operasi berjalan lancar dan Mr. Pantasi terbangun. Ketika ia sadar, ia melihat perawat sedang memberikan obat merah di sekitar kemaluannya. Sekitar beberapa saat ia menunggu di ruangan, menunggu hingga pengaruh bius hilang. Kaki yang mati rasa perlahan mulai dapat digerakan. Rasa kesemutan yang dia rasakan perlahan hilang. Selanjutnya ia dibawa ke ruang rawat inap.
Flashback kembali ke belakang, sebenarnya Mr. Pantasi bingung ingin memulai dari mana, mungkin cerita ini dapat dimulai sejak ia remaja. Sejak SMA sebenarnya Mr. Pantasi curiga dengan ukuran kedua testisnya yang terbilang sangat kecil. Untuk Testis kiri berukuran panjang hanya 1,8 cm, sedangkan ukuran panjang Testis kanan 2 cm. Ukuran Testis remaja laki-laki seharusnya dengan panjang 4-5 cm, artinya ukuran Testis Mr. Pantasi hanya setengah dari ukuran normal yang seharusnya. Ketika beranjak dewasa berumur sekitar 25 Tahun ukuran kedua Testis Mr. Pantasi barulah berukuran normal dengan panjang sekitar 4,5 cm.
Masalah baru dirasakan Mr. Pantasi ketika berkuliah di Jerman. Ketika musim panas dan musim dingin dengan suhu yang terbilang ekstrim, Mr. Pantasi merasakan nyeri di Testis bagian kanan. Untuk musim dingin dengan suhu di bawah 0° C, seperti yang pernah terjadi di kota Zittau hingga -10° C, Mr. Pantasi mengalami nyeri yang luar biasa di Testis kanannya. Sedangkan untuk musim panas yang pernah mencapai 37° C di Zittau, Testis kanan Mr. Pantasi juga terasa nyeri. Setiap tahun Mr. Pantasi merasa sakit dan tidak nyaman, namun semakin lama, semakin terasa lebih sakit daripada sebelumnya.
Hingga akhirnya di tahun 2018 sebelum pandemi Corona terjadi, Mr. Pantasi memberanikan diri ke Dokter Urologi di kota Zittau. Untuk pertama kalinya ia mengunjungi Dokter spesialis saluran kemih dan sistem reproduksi. Ia masuk ke ruangan Dokter dan berkonsultasi dengan apa yang ia rasakan. Dokter menyuruh untuk membuka celana, namun Mr. Pantasi merasa malu. Karena ini adalah Jerman, orang Jerman tidak mengenal basa-basi, maka Mr. Pantasi langsung membuka celananya. Pemeriksaan fisik dilakukan, kedua Testis diraba, namun tidak ditemukan apapun. Meskipun sudah dilakukan Manuver Valsava, Dokter masih tidak dapat mendeteksi penyakit yang diderita Mr. Pantasi. Pengecekan selanjutnya adalah pemeriksaan prostat dan lagi Dokter tidak mengetahui penyakit apa yang diderita Mr. Pantasi. Setelah pemeriksaan medis, ia pulang dengan diresepkan obat penghilang rasa sakit Ibuprofen.
Loncat ke tahun 2023, Mr. Pantasi kembali mengunjungi Dokter Urologi dan kali ini mengunjungi Dokter yang berbeda. Saat ini Dokter yang menangani Mr. Pantasi adalah Dr. med. Johann Riedel, Facharzt für Urologie. Dalam pemeriksaan, Dokter Riedel melakukan pemeriksaan fisik dan USG Skrotum. Diagnosis yang diderita Mr. Pantasi adalah Orchitis, Epididimitis dan Epididymo Orchitis. Dokter menyarankan Mr. Pantasi ke Rumah Sakit di Görlitz. Di Städtisches Klinikum Görlitz, ia dicurigai menderita kanker prostat, namun dalam pemeriksaan tidak ditemukan penyakit yang diduga sebelumnya. Setelah pemeriksaan fisik, USG dan uji Lab, memang benar ditemukan Epididimitis, namun tidak parah atau membahayakan. Akhirnya Mr. Pantasi kembali diresepkan obat penghilang rasa sakit Ibuprofen dengan dosis yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Loncat lagi di tahun 2025 setelah Mr. Pantasi kembali ke Indonesia. Ia bekerja sebagai sales mobil listrik. Saat itu ia sedang mengikuti pameran mobil listrik di Mal Summarecon Serpong untuk beberapa hari. Mungkin karena ia berdiri sangat lama dan suhu di Indonesia saat itu sekitar 37° C, penyakit lama Mr. Pantasi kambuh lagi. Pada hari Rabu, 28 April 2025, ia memutuskan mengunjungi Klinik Utama Apollo di Jl. Pangeran Jayakarta, Mangga Dua Kota Jakarta Pusat. Ia bertemu dengan Dokter Petrus dan pemeriksaan fisik dilakukan.
Karena sudah terbiasa dengan proses ini, Mr. Pantasi sudah tidak merasa malu bila kemaluanya terlihat. Sejak di Jerman pun, ia diperiksa tidak mengenakan celana. Ia melepas celananya, menyisakan baju dan sepatu yang ia kenakan. Pernah suatu waktu ketika Dokter Riedel sedang memeriksa Testis Mr. Pantasi, suster wanita datang dan seperti biasa saja. Atau ketika Mr. Pantasi di Rumah Sakit Görlitz, Dokter wanita memeriksa Mr. Pantasi, namun terdapat panggilan darurat, akhirnya ia ditinggal dalam keadaan telanjang hanya mengenakan baju dengan sepatu dan kemaluannya terpampang bebas dengan keadaan ruang pemeriksaan yang pintunya terbuka lebar untuk waktu yang lama. Selama itu juga, Penis dan skrotum tidak tertutup sehelai benang pun dan disaksikan orang-orang yang berlalu lalang.
Berbeda dengan di Indonesia, Mr. Pantasi telentang di ranjang pemeriksaan dengan membuka sedikit celana hingga kemaluan ia terlihat keluar dan dengan tirai tertutup. Pertama-tama Dokter memeriksa cairan kemaluan dengan menggenggam Penis Mr. Pantasi, lalu kepala Penis diusapkan ke bidang datar bening untuk uji Lab. Selanjutnya Testis diraba bagian kiri dan kanan. Selanjutnya ia diambil sampel darah dan Urin. Untuk biaya konsultasi Dokter seharga Rp. 260.000,00 dan tes Lab Rp. 950.000,00.
Untuk hasil pemeriksaan didapatkan bahwa Mr. Pantasi menderita Varikokel dan ditemukanya bakteri di kemaluan atau Uretra. Pengobatan yang disarankan adalah terapi untuk melancarkan aliran darah seharga Rp. 12.000.000,00 dengan metode pembayaran 2 kali, yaitu yang pertama sebesar Rp. 5.500.000,00 di tanggal 28 April 2025 dan yang kedua sebesar Rp. 6.500.000,00 di tanggal 30 April 2025.

Terapi dilakukan beberapa kali, Mr. Pantasi mengikuti sesi pertama terapi untuk mengobati Varikokelnya. Sebelum sesi terapi, ia mendapatkan infus dengan antibiotik untuk membunuh bakteri yang berada di dalam tubuh. Selanjutnya ia masuk ke ruangan pengobatan di lantai 3 untuk melakukan terapi. Terapi menggunakan alat medis dengan pengobatan gelombang magnetik dan panas, berbentuk seperti mesin besar yang melingkar mirip dengan alat MRA dengan dimensi yang lebih kecil. Seperti biasa, Mr. Pantasi membuka celananya, lalu masuk ke dalam alat medis tersebut. Dengan hanya mengenakan baju tanpa celana, suster mengoleskan obat di kepala penisnya, lalu alat dinyalakan. Setelah beberapa menit, terapi selesai dilakukan.
Terapi ini berulang hingga 3 kali sesi, namun setiap selesai sesi terapi, testisnya selalu merasa sakit seperti berdenyut kencang. Hingga pada terapi ke-2 Mr. Pantasi tidak sanggup mengenakan celana, karena merasa sangat sakit bila tertekan bahan celana. Akhirnya ia berkonsultasi dengan Dokter Petrus melalui Whatsapp dan direkomendasikan untuk melakukan USG Skrotum. Sambil menahan sakit, Mr. Pantasi mengenakan celana pendek datang ke Rumah Sakit Columbia Asia untuk melakukan USG. Dan dari hasil USG ditemukan, bahwa memang benar Mr. Pantasi menderita Varikokel, namun tidak itu saja, ia juga menderita kista pada Epididimis berukuran kecil. Untuk sesi terapi yang terakhir, ia hanya menggunakan gelombang magnetik, sedangkan gelombang panas dimatikan. Dugaan Dokter Petrus, bahwa gelombang panas ini yang membuat Saluran Sperma berkontraksi yang mengakibatkan rasa sakit yang dialami Mr. Pantasi.
Akhirnya terapi selesai dilakukan untuk ke-3 kalinya, selanjutnya Mr. Pantasi melakukan tes Kesuburan. Untuk pemeriksaan tes Lab darah dan Urin, sudah tidak ditemukan bakteri yang sebelumnya terdeteksi, namun hasil tes Sperma yang dilakukan menunjukan ia mengalami Oligospermia atau mendekati kemandulan. Perkiraan Dokter Petrus, Mr. Pantasi menderita Varikokel Grade 2 yang artinya penyakit ini sudah cukup lama diderita olehnya. Solusi yang disarankan Dokter Petrus adalah meminum suplemen yang dapat meningkatkan hormon Testosteron. Selain itu Dokter Petrus juga meresepkan obat penghilang rasa sakit Arcoxia 90 mg bila Varikokelnya terasa sakit kembali.

Cerita ini loncat lagi beberapa minggu ketika Mr. Pantasi di Surakarta. Rasa nyeri karena penyakit Varikokel ini kambuh kembali, akhirnya ia memutuskan ke Rumah Sakit Umum Daerah Moewardi. Ia berkonsultasi dengan Dr. Suharto Wijanarko Sp.U. Dari pertemuan ini akhirnya Mr. Pantasi memutuskan untuk operasi untuk mengobati Varikokelnya.
Di ujung cerita ia ke RSCM Kencana dan bertemu dengan Dokter yang akan mengoperasinya. Di konsultasinya yang pertama, Dokter memeriksa Testis kiri dan kanan. Dalam keadaan berdiri ia membuka celana, lalu pemeriksaan fisik dilakukan dengan teliti. Dari hasil pemeriksaan ini, Dokter berkesimpulan, bahwa Varikokel yang diderita Mr. Pantasi adalah Grade 2 di Testis kanan dan Grade 1 di Testis kiri. Metode operasi yang dilakukan, yaitu memotong pembuluh darah Vena yang berada di Saluran Sperma di kedua Testisnya.
Sebenarnya tidak ada resiko serius bila melakukan proses operasi ini, namun hanya ada satu resiko yang sangat fatal bila gagal dalam pengerjaan operasi ini. Sebagai gambaran di dalam Saluran Sperma terdapat Pembuluh Arteri dan Vena. Kedua pembuluh darah ini berdekatan, yang artinya apabila salah dalam pemotongan pembuluh darah, maka akan terjadi pendarahan. Kerusakan Arteri sangat sulit diperbaiki, dengan kata lain apabila gagal dalam pengerjaan operasi ini, maka harus dilakukan pengangkatan Testis. Masalahnya adalah Mr. Pantasi menderita Varikokel di kedua Testisnya, sehingga apabila terjadi kesalahan, maka Mr. Pantasi harus hidup tanpa Testis untuk selanjutnya. Namun ketakutan Mr. Pantasi tidak menjadi kenyataan dan cerita kembali ke awal pada saat akan operasi.

Cerita yang begitu panjang ini menghasilkan 2 kesimpulan yang dapat dibuat oleh Suara Wakil Rakyat. Pertama Varikokel sebenarnya penyakit yang berbahaya, namun banyak orang yang tidak menganggap serius dan bahkan seperti Mr. Pantasi lebih memilih menahan sakit, atau mungkin lebih tepatnya tidak ingin malu karena penyakit ini berada di Organ Vital, bagian paling privat yang tidak ingin dilihat oleh orang lain manapun. Antara menahan malu atau berisiko kemandulan, toh pada akhirnya Mr. Pantasi memberanikan diri untuk mengobati penyakitnya. Dan yang ke-2 adalah mahalnya biaya kesehatan di Indonesia. Sebagai gambaran Suara Wakil Rakyat akan membuat komparasi biaya pengobatan di Jerman dan di Indonesia.
Sesuai dengan pengalaman Mr. Pantasi yang pernah tinggal di Jerman, seluruh biaya kesehatan ditanggung asuransi kesehatan. Mr. Pantasi menggunakan Versicherung AOK, pada awal kedatangan dia di Jerman, ia membayar sekitar 90 EUR atau Rp. 1.350.000 per Bulan dengan asumsi nilai kurs saat itu 1 EUR sama dengan Rp.15.000,00. Kemudian biaya asuransi mengalami kenaikan per Tahun hingga terakhir sekitar hampir 150 EUR dengan nilai kurs menyentuh hampir Rp.19.000,00, yang artinya per Bulan Mr. Pantasi mengeluarkan biaya sekitar Rp. 2.850.000,00. Upah Minimum per Jam di Jerman sekitar 14-17 EUR atau setara dengan 1.000-1.500 EUR per Bulan dengan pekerjaan full time tanpa keahlian.
Sebagai contoh, Mr. Pantasi pernah jatuh dari jendela kamar di lantai 2, ia mengalami patah kaki bagian kiri. Ia dibawa ke Rumah Sakit di Zittau. Di sana ia langsung ditangani dengan sigap. Pertama-tama dilakukan Rontgen dari pinggang ke bawah dan didapati bahwa Fibula bagian kaki kirinya patah dan mengalami keretakan di sekitaran tulang panggul. Selanjutnya kaki Mr. Pantasi digibs dan dibawa ke ruang rawat inap untuk dilakukan observasi selama 3 hari. Esok harinya Mr. Pantasi melakukan pemeriksaan USG di bagian perut bawah, bila mungkin terjadi pendarahan dalam. Selain itu MRA juga dilakukan untuk memeriksa tulang tengkorak Mr. Pantasi, bila mungkin terjadi benturan saat jatuh. Dari hasil observasi, seharusnya kakinya yang patah dapat dilakukan operasi, namun belum dibutuhkan tindakan lebih jauh, karena recovery Mr. Pantasi terbilang cepat. Selanjutnya ia dapat pulang ke Asrama Mahasiswa dengan diberikan obat-obatan.

Lain halnya dengan teman Mr. Pantasi yang menderita Hernia sejak lama. Hernia adalah kondisi di mana organ tubuh bagian dalam menonjol ke luar melalui celah pada otot atau jaringan penyangga yang lemah. Di bagian bawah perut teman Mr. Pantasi terdapat Usus yang menonjol keluar dan usus tersebut juga telah mengisi Skrotum. Testis yang terjepit Usus, membuat ia harus dilakukan tindakan darurat di Rumah Sakit Dresden. Operasi dilakukan untuk meletakan usus ke posisi semula dan dilakukan hanya dalam 1 hari, lalu ia diperbolehkan pulang.
Bayangkan jika kejadian tersebut terjadi di Indonesia, berapa puluh juta atau bahkan ratusan juta rupiah biaya yang harus mereka keluarkan? Untuk mengobati organ yang panjangnya tidak lebih dari 5 cm saja, Mr. Pantasi harus membayar sekitar Rp. 65.000.000,00. Untuk tindakan yang lebih rumit, mungkin seharga 1 mobil Vinfast VF 3 dengan kisaran Rp.153.000.000,00. Teringat ketika Mr. Pantasi kecelakan motor saat SMP, biaya untuk operasi estetik di bagian dahi karena kulitnya sobek tergesek aspal seharga motor itu sendiri. Menurut pandangan Suara Wakil Rakyat, biaya tak terduga ini jauh lebih mahal atau bahkan sangat mahal yang mungkin Upah Minimum tidak akan dapat menutup kebutuhan ini. Solusi yang dapat diterapkan adalah memaksimalkan penggunaan BPJS kesehatan, namun apakah penerapanya sudah efektif di Indonesia?
Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene dari Partai Nasional Demokrat melakukan kritik dalam Raker dengan Dirut BPJS pada hari Senin, 26 Mei 2025. Ia berpendapat pelayanan JKN memberatkan pasien. Ia mengaku memiliki nama-nama di Daerah Pemilihannya sesuai data valid yang dimilikinya, jika BPJS Kesehatan mempersulit keadaan pasien. Sebagai contoh terdapat seorang pasien disuruh pulang, sedangkan ia hanya dapat makan menggunakan selang. Akhirnya pasien itu meninggal karena BPJS tidak mampu menjalankan fungsinya. (MRP/01)







